The Bet : Love Begin #1

AN ORIGINAL NOVEL WRITTEN BY JAMIE MCGUIRE WITH TITLE “BEAUTIFUL DISASTER”

Rewritten by bluesch ©2017

A poster by Afina23@Poster Channel

| Minho, Taemin, Kibum, Jinki |

•cue•

Semua yang ada di ruangan ini seolah-olah berteriak kalau aku tidak pantas untuk berada di sini. Tangga mulai bergetar, orang-orang gaduh berdesakan, udara bercampur dengan bau keringat, darah, dan juga jamur. Suara-suara menjadi tidak jelas terdengar ketika mereka meneriakkan satu angka dan nama berulang-ulang, tangan bergerak-gerak di udara, saling bertukar uang dan berkomunikasi dengan gerakan tubuh di tengah kebisingan. Aku menerobos masuk ke dalam kerumunan dan sahabatku mengikuti di belakang.

“Simpan uangmu, Taemin!” kata Kibum padaku.

“Tetap berdekatan! Semua akan lebih buruk ketika acara dimulai!” Jinki berteriak di tengah kebisingan. Kibum memegang tangan Jinki dan tanganku ketika Jinki menuntun kita melewati kerumunan orang.

Suara keras dari pengeras suara membelah udara yang penuh dengan asap. Suaranya mengejutkanku dan aku melompat kaget sambil melihat ke arah sumber suara. Seorang pria berdiri di atas kursi kayu, sambil memegang segepok uang disatu tangan dan pengeras di tangannya yang lain.

“Selamat datang diacara Pertumpahan Darah! Namaku Adam. Aku yang membuat peraturan-peraturannya dan yang mengadakan acara ini. Pertaruhan berakhir ketika penantang memasuki arena, dilarang memegang dan membantu para petarung, tidak boleh mengganti taruhan, dan tidak boleh melewati batas arena. Jika kalian melanggar aturan ini, kalian akan dipukuli dan dilempar keluar tanpa uang kalian!”

“Astaga Adam!” Jinki menggelengkan kepala dan berteriak pada sang pembawa acara, sangat jelas ia tidak setuju dengan kata-kata yang dipilih temannya.

Jantungku berdebar kencang. Dengan memakai skinny jin dan sweter putih yang longgar di tubuhku, aku merasa seperti anak polos yang tidak seharusnya berada di sini. Aku berjanji pada Kibum bahwa aku akan menerima apapun yang terjadi nanti. Tapi ketika tiba di sini aku merasakan dorongan kuat untuk memegang tangannya erat-erat. Aku tahu ia tidak akan membiarkanku berada dalam bahaya, tapi dengan berada di basement dengan orang- orang mabuk yang cenderung terjadi perkelahian, aku sedikit tidak yakin kalau kita akan keluar tanpa terluka.

Kibum bertemu dengan Jinki sejak masa orientasi mahasiswa baru dulu. Sejak saat itu ia sering kali menemani Jinki keacara ini yang diadakan di basement wilayah Seoul. Setiap acara diadakan di tempat yang berbeda dan dirahasiakan sampai satu jam sebelum pertarungan dimulai.

Karena aku berada di lingkungan yang baik-baik saja, aku tercengang mengetahui tentang dunia bawah tanah Seoul. Tapi Jinki mengetahui hal itu sebelum masuk perguruan tinggi. Minho, teman serumah Jinki sekaligus sepupunya, mengikuti pertarungan pertamanya saat orientasi mahasiswa baru. Sebagai mahasiswa baru, ia dijuluki sebagai lawan yang mematikan yang pernah Adam lihat selama ia mengadakan acara ini. Memulai tingkat kedua, Minho menjadi tak terkalahkan. Jinki dan Minho dengan mudah membayar uang sewa rumah dan tagihan-tagihan lain karena selalu menang taruhan.

Adam memegang pengeras suaranya lagi, teriakan dan gerakan meningkat menjadi kegelisahan. “Malam ini kita punya penantang baru! Bintang gulat Seoul, Jo Segi!”

Sorak sorai bergema dan orang-orang terbagi menjadi dua ketika Jo Segi memasuki arena. Lingkaran arena kosong dan semua orang bersiul, mencemooh, dan mengejek si penantang. Ia melompat ke atas dan ke bawah serta menggoyangkan lehernya ke belakang dan ke depan.

“Petarung kita selanjutnya tidak perlu diperkenalkan, tapi karena dia membuatku takut, jadi aku tetap memperkenalkannya! Ini dia, Choi Minho!”

Suara bergemuruh ketika Minho muncul di pintu. Ia masuk, telanjang dada, santai, dan tak terpengaruh oleh keributan yang ada. Ia memasuki arena seperti orang yang menuju kantornya. Minho membungkuk dan membisikkan sesuatu ke telinga Segi dan si pegulat itu berusaha keras untuk tetap mempertahankan ekspresi tegasnya. Segi berdiri berhadapan dengan Minho dan mereka saling menatap langsung pada mata masing-masing. Ekspresi Segi sangat mematikan dan Minho terlihat agak geli melihatnya.

Mereka mundur beberapa langkah dan Adam membunyikan terompet tanda pertarungan dimulai. Segi mengambil posisi bertahan dan Minho menyerang. Aku berjinjit karena tidak bisa melihat dengan jelas, bergerak ke kanan dan ke kiri agar dapat melihat pertarungan dengan lebih baik. Aku terus naik, bergeser melewati orang-orang yang berteriak-teriak. Aku tersikut dan ditabrak, terpental ke depan dan ke belakang. Kepala Segi dan Minho mulai terlihat, jadi aku terus menerobos ke depan.

Ketika aku tepat di depan arena, Segi memegang Minho dan bermaksud untuk melemparnya ke bawah. Waktu Segi membungkuk, Minho menendangkan lututnya ke wajah Segi. Sebelum Segi bisa berdiri tegak, Minho menonjok wajah Segi yang sudah berdarah berulang kali.

“Apa yang kau lakukan, Taemin?!” ada tangan yang menarikku hingga aku tersentak ke belakang. Itu Jinki.

“Aku tidak bisa melihat dari belakang sana!” sahutku.

Aku berbalik tepat ketika Segi terkena pukulan keras. Minho berbalik dan untuk sesaat aku pikir ia telah menghindari beberapa pukulan, tapi ia berhasil memutar dan memukulkan sikunya tepat ke hidung Segi. Darah menyiprat mengenai wajahku dan berceceran di sweterku. Segi jatuh ke lantai beton dengan suara yang keras. Untuk sesaat ruangan sunyi senyap.

Adam melemparkan kain merah ke arah tubuh Segi yang lemah dan orang-orang terbagi dua, ada yang bangga dan ada yang kecewa.
Aku terdorong kesana kemari oleh orang-orang yang akan keluar. Kibum memanggilku dari suatu tempat di belakang, tapi aku lebih terpesona pada noda merah yang membekas di dadaku hingga pinggang.

Sepasang sepatu bot berat berjalan ke arahku, mengalihkan perhatianku ke lantai. Mataku bergerak ke atas, melihat celana jin yang ada noda darahnya, otot perut yang terpahat dengan indah, telanjang dada yang basah oleh keringat, dan akhirnya sepasang mata bulat indah yang hangat. Aku terdorong dari belakang dan Minho menangkapku sebelum aku terjatuh ke depan.

“Hey mundur!” Minho mengernyit, mendorong semua orang yang ada di sekitarku. Ekspresi wajahnya yang keras mencair menjadi senyuman ketika ia melihat sweterku kemudian mengelap wajahku dengan handuk. “Maafkan soal ini, Sweety!”

“Ayo, Choi! Ada sejumlah uang yang harus diambil!” Adam menepuk belakang kepala Minho.

“Sayang sweternya, padahal itu terlihat bagus dipakai olehmu,” matanya terus memandangku. Detik berikutnya ia ditelan kerumunan fans, menghilang secepat ia muncul.

“Apa yang kau pikirkan, Bodoh?!” Kibum berteriak sambil menarik tanganku.

“Aku datang kesini untuk melihat pertarungan, bukan?” senyumku.

“Kau seharusnya tidak boleh berada di sini, Taemin,” Jinki mengomel.

“Sama halnya dengan Kibum,” kataku.

“Tapi dia tidak mencoba loncat ke dalam arena!” dia mengernyit. “Ayo kita pergi!”

Kibum tersenyum padaku dan mengelap wajahku. “Kau sangat menyusahkan, Taemin. Ya Tuhan, aku sangat menyayangimu,” ia memeluk leherku kemudian kami berjalan menuju tangga dan keluar di udara malam.

•••

Kibum mengikuti sampai ke kamar asramaku. Aku langsung membuka sweterku yang penuh noda darah kemudian melemparnya ke dalam keranjang.

Ya. Aku memang tinggal di asrama universitas bersama Kibum, hanya saja tidak satu kamar. Ia berada di kamar seberang kamarku. Asrama kami cukup dekat dengan kampus, jadi tidak perlu ongkos tambahan untuk ke kampus. Cukup berjalan selama beberapa menit sudah sampai. Lagipula aku tidak memiliki cukup uang untuk menyewa flat.

Setelah memperhatikanku dari ambang pintu, aku melihatnya mengedipkan sebelah matanya padaku dan menutup pintu di belakangnya. Semenit kemudian, telepon genggamku berbunyi tanda ada pesan masuk.


From Kibum.

Menginap di tempat Jinki. Sampai bertemu besok.

Seperti biasa, Kibum selalu mengirim pesan singkat setelah kami mengucap selamat tinggal. Setelah membaca pesan Kibum, aku memutuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum istirahat.

•••

Keesokan harinya, Jinki dan Kibum bergabung denganku saat makan siang. Aku bermaksud duduk sendirian, tapi ketika para mahasiswa menuju cafetaria, mendadak semua kursi di sekitarku terisi, baik oleh teman klub Jinki maupun anak sepakbola. Beberapa dari mereka ada di tempat pertarungan semalam, tapi tidak ada yang membahas pengalamanku di dekat arena. Syukurlah.

“Jinki,” panggil seseorang.

Jinki mengangguk. Kibum dan aku berpaling untuk melihat Minho yang duduk di kursi ujung meja. Ia diikuti oleh dua perempuan seksi. Salah seorang dari mereka duduk di pangkuan Minho dan yang lain duduk di sebelahnya sambil memainkan kaos Minho dengan jarinya.

“Aku rasa aku ingin muntah,” gumam Kibum.

Perempuan yang berada di pangkuan Minho melirik Kibum sekilas. “Aku mendengar itu, Bitch.”

Kibum mengambil rotinya dan melemparkannya ke atas meja sehingga hampir mengenai wajah perempuan itu. Sebelum perempuan itu mengatakan sesuatu yang lain, Minho sudah menarik lututnya terlebih dahulu sehingga perempuan itu jatuh ke bawah.

“Aduh!” ia menjerit sambil memandang ke arah Minho.

“Kibum adalah temanku. Silakan mencari pangkuan lain, Stef.”

“Minho!” ia merajuk berusaha berdiri. Minho hanya mengalihkan pandangan ke piringnya, mengacuhkannya. Perempuan itu melihat pada temannya dan mendengus kemudian mereka pergi sambil berpegangan tangan.

Minho mengedipkan sebelah matanya ke arah Kibum, seakan-akan tidak terjadi apapun, kemudian melahap makanannya lagi. Saat itulah aku melihat luka kecil di pelipisnya. Minho dan Jinki saling memandang kemudian ia mulai mengobrol dengan salah seorang teman dari tim sepakbola yang ada di hadapannya.

Meskipun meja makan mulai sepi, aku, Kibum, dan Jinki terus membicarakan rencana kami untuk akhir minggu ini. Minho berdiri dan pergi, tapi kemudian berhenti di dekat meja tempat kami berada.

“Apa?” Jinki bertanya sedikit ketus. Aku mencoba mengacuhkan Minho selama mungkin tapi ketika aku melihat ke atas, ia sedang memandangku.

“Kau tahu dia kan? Sahabat Kibum, dia bersama kami semalam,” Jinki menjelaskan.

Minho tersenyum padaku yang menurutku itu adalah salah satu ekspresi yang sangat memesona. Dan aku mendelik padanya saat ia berusaha menggodaku.

“Sejak kapan kalian bersahabat, Kibum-ah?” Minho bertanya.

“Sejak sekolah menengah pertama,” jawabnya sambil tersenyum padaku. “Apa kau lupa, Minho? Kau telah merusak sweternya.”

“Aku sudah merusak banyak sweter,” aku hanya bergumam menanggapi sahutannya.

Minho memutar kursi kosong di belakangku dan duduk di sebelahku. Meletakkan tangannya di depannya.

“Jadi kau adalah si Sweety yang sering disebut-sebut itu ya?”

“Bukan. Aku punya nama,” jawabku sedikit membentak. Ia tampak kagum dengan caraku memperlakukannya, membuatku semakin kesal.

“Jadi siapa namamu?” tanyanya. Aki memakan potongan apel terakhirku, mengacuhkannya. “Kalau begitu aku panggil Sweety saja ya,” ia mengangkat bahunya.

Aku melirik Kibum, lalu melihat ke arah Minho. “Aku sedang makan, kau tahu.” tapi ia tetap santai menanggapi perlakuanku.

“Namaku Minho. Choi Minho.”

“Aku tahu.”

“Begitukah?” Minho berkata sambil mengangkat alisnya yang terluka.

“Jangan percaya diri dulu. Sulit untuk tidak mengetahui siapa dirimu saat lebih dari 50 orang mabuk meneriakkan namamu.”

Minho duduk lebih tegak. “Aku sering mengalami hal semacam itu,” aku memutar mata malas dan Minho malah cekikikan. “Apa kau memiliki masalah dengan matamu?”

“Huh?”

“Matamu selalu bergerak memutar,” ia tertawa lagi ketika aku membelalakan mata. “Tapi itu sepasang mata yang cantik,” ia berkata sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku.

Aku memandangi piringku, membiarkan poniku yang lumayan panjang menjadi penghalang mataku untuk menatapnya. Aku tidak menyukai apa yang aku rasakan saat ia mendekat. Aku tidak mau seperti mereka, beberapa orang yang akan tersipu ketika ia datang. Aku tidak mau ia memberi efek seperti itu padaku.

“Jangan coba-coba, Choi. Dia sudah seperti saudara kandungku,” Kibum memperingatkan.

“Sayang, kau baru saja melarang Minho. Dan aku yakin dia tidak akan mau berhenti,” Jinki berkata.

“Dia bukan tipenya,” Kibum melindungiku.

“Aku tipe semua orang!” kata Minho pura-pura tersinggung. Aku melirik Minho dan tersenyum tipis.

“Ah, akhirnya tersenyum. Aku bukan seorang bajingan seperti yang aku pikirkan ternyata,” ia mengedipkan sebelah matanya padaku. “Senang bertemu denganmu, Sweety,” ia berjalan mengitari meja dan membungkuk ke arah Kibum. Membisikkan sesuatu.

“Jauhkan mulut kotormu dari telinganya, Minho!” Jinki melempar kentang goreng ke arah sepupunya.

“Astaga Jinki. Aku sedang ada urusan sedikit dengannya!” Minho melangkah keluar dengan tangan di samping telinga dengan wajah polosnya. Beberapa perempuan lain lagi mengikuti di belakangnya, cekikikan, menggerak-gerakkan jari di rambut mereka untuk menarik perhatiannya. Ia membukakan pintu untuk mereka dan mereka hampir menjerit kegirangan.

“Oh, tidak. Kau dalam bahaya, Taemin,” ujar Kibum seraya tertawa.

“Apa yang dia bisikkan?” aku bertanya dengan hati-hati.

“Dia ingin kau agar mengajak Taemin ke rumah kan?” Jinki berkata. Kibum mengangguk dan Jinki menggelengkan kepalanya. “Kau adalah pemuda yang cerdas, Taemin. Aku beritahu dari sekarang, jika nanti kau mulai percaya omong kosongnya dan ternyata dia membuatmu marah, jangan melampiaskannya padaku ataupun Kibum. Mengerti?”

“Aku tidak mungkin menyukainya, Jinki-ya. Apa aku terlihat seperti dua perempuan tadi?” aku tersenyum menanggapi nasihat Jinki.

“Dia tidak akan menyukainya,” Kibum meyakinkan Jinki sambil menyentuh tangannya.

“Ini bukan masalah pertamaku, Sayang. Apa kau tahu berapa kali dia mengacaukan hubunganku karena dia meniduri sahabat pacarku?” ia beralih menatapku. “Ingat ya, Taemin. Jangan melarang Kibum untuk datang ke rumahku atau berkencan denganku hanya karena kau percaya semua omong kosong Minho. Anggap kau sudah kuingatkan.”

“Tidak perlu. Tapi aku menghargai peringatanmu,” kataku. Aku mencoba meyakinkan Jinki dengan senyuman tapi ia merasa tidak yakin karena sudah bertahun-tahun mengalami hal yang sama, terluka karena kelakuan Minho.

•••

Kibum melambaikan tangannya kemudian pergi bersama Jinki. Sedangkan aku memasuki kelas soreku. Aku memincingkan sebelah mataku karena silau oleh sinar matahari sambil memegang tas ranselku. Universitasku sekarang sangat sesuai seperti yang aku harapkan. Ini adalah awal untuk kehidupan baru yang akan aku jalani kelak, akhirnya aku bisa berjalan kemana pun tanpa ada orang yang berbisik-bisik karena mengetahui siapa aku–atau mereka pikir mereka tahu–semua tentang masa laluku.

Aku menaruh tas ranselku di lantai dan aku duduk di kursi, membungkuk untuk mengambil laptopku dari dalam tas. Ketika aku duduk kembali untuk menaruhnya di atas meja, Minho baru saja duduk di kursi sebelahku.

“Bagus. Kau bisa membuatkanku catatan,” ia berkata padaku. Ia menggigit pulpennya dan tersenyum, tidak diragukan lagi sangat memesona.

“Bahkan kau tidak mengambil mata kuliah ini.”

“Aku mengambil kuliah ini kok. Biasanya duduk di atas sana,” ia berkata sambil menunjuk ke arah tempat duduk paling atas. Sekelompok kecil perempuan memandangiku dan melihat kursi yang kosong di tengah-tengah mereka.

“Aku tidak akan membuatkanmu catatan,” kataku sambil menyalakan laptop.

Minho membungkuk sangat dekat padaku hingga aku bisa merasakan nafasnya di pipiku. “Maaf, apa aku ada menyinggungmu sebelumnya?” Aku menghela nafas kemudian menggeleng kepala. “Lalu apa masalahmu?”

“Aku tidak akan tidur denganmu. Kau harus menyerah sekarang,” kataku seraya menahan suaraku agar tetap pelan. Senyuman kecil muncul di wajahnya.

“Aku belum mengajakmu untuk tidur denganku,” matanya melayang ke atas memandangi atap kelas seperti sedang berpikir. “Iya kan?”

“Aku tidak seperti dua orang perempuanmu tadi atau kelompok kecilmu di atas sana,” aku berkata sambil melihat sekilas ke arah mereka yang di belakangku. “Aku tidak tertarik denganmu, ataupun kelakukanmu yang seperti anak kecil, atau ketidakacuhanmu yang dipaksakan. Jadi kau bisa menghentikan semua usahamu itu.”

Okay, Sweety,” ia tampak tidak kesal sedikitpun atas perlakuan kasarku. “Kenapa kau tidak ikut Kibum malam ini?” aku menyeringai atas ajakannya, tapi ia malah semakin mendekat. “Aku tidak berusaha untuk menangkapmu. Aku cuma ingin hangout.”

Menangkapku? Bagaimana bisa kau mengajak seseorang untuk tidur denganmu kalau cara bicaramu saja seperti ini?” tawa Minho meledak sambil menggelengkan kepalanya.

“Mampir saja nanti. Aku bahkan tidak akan menggodamu. Aku janji.”

“Akan aku pertimbangkan.”

Profesor Park masuk dan Minho mengalihkan perhatiannya ke depan. Masih terlihat senyuman di wajahnya, membuatnya semakin memesona. Semakin ia tersenyum, semakin ingin aku membencinya, padahal itu yang membuat membencinya tidak mungkin.

Minho menyeringai dan santai di kursinya. Setelah sejam berlalu, ia bolak-balik mendekat dan menatap monitorku sambil sekali-kali menguap. Aku berusaha keras untuk berkonsentrasi dan mengacuhkannya, tapi kedekatan dan otot kekarnya membuat semua itu menjadi sulit. Ia memainkan gelang perak di pergelangan tangan kirinya hingga saatnya Profesor Park membubarkan kelas.

Aku bergegas keluar kelas menuju lorong. Ketika aku merasa sudah aman, tiba-tiba Minho muncul di sebelahku.

“Apa kau sudah memikirkannya?”tanyanya.

Perempuan bertubuh kecil berambut cokelat melangkah ke arahku dan Minho. Matanya lebar dan berharap.

“Hai, Minho,” ia menyapa dengan riang sambil memainkan rambutnya.

Aku berhenti berjalan, menghindar dari suaranya yang dibuat-buat seperti anak kecil kemudian berjalan memutar ke belakangnya. Aku sudah pernah melihatnya sebelumnya di asrama sedang mengobrol dengan temannya tapi tidak dengan suara yang dibuat-buat seperti ini. Suaranya waktu itu terdengar lebih dewasa dan aku penasaran apa yang membuatnya berpikir kalau Minho akan menyukai suara anak kecilnya itu. Ia terus mengoceh dengan suara yang lebih tinggi hingga Minho berada di sampingku lagi. Ia mengeluarkan pematik api dari sakunya kemudian menyalakan rokok dan mengembuskan asap tebal.

“Tadi sampai mana ya? Ah ya, kau sedang mempertimbangkan,”

“Apa yang kau bicarakan?” aku menyeringai.

“Apa kau sudah memutuskan untuk datang?”

“Jika aku mengatakan ya, akankah kau berhenti mengikutiku?”

“Ya,” ia berpikir sejenak sebelum menjawabnya.

“Kalau begitu aku akan datang.”

“Kapan?”

“Malam ini. Aku akan datang malam ini.”

“Bagus. Sampai bertemu nanti malam, Sweety,” Minho berhenti berjalan sejenak dan tersenyum kepadaku.

Aku berbelok ke pojok dan melihat Kibum bersama Jonghyun di sana. Aku dan Kibum bertemu Jonghyun saat masa orientasi mahasiswa baru dan aku langsung tahu ia bisa menjadi orang ketiga yang ditunggu-tunggu didalam hubungan pertemananku dengan Kibum. Ia tidak terlalu tinggi, tapi tetap kelihatan menarik.

“Choi Minho? Ya Tuhan, Taemin, sejak kapan kau mulai memancing di laut dalam?” Jonghyun bertanya dengan mata yang memancarkan ketidaksetujuannya.

“Kau hanya membuatnya semakin parah dengan menyuruhnya pergi. Dia tidak terbiasa dengan itu,” kata Kibum yang sedang memain-mainkan permen karetnya di dalam mulutnya.

“Jadi aku harus bagaimana? Tidur dengannya?”

“Itu akan lebih menghemat waktu.”

“Aku memberitahunya kalau aku akan mampir malam ini,” Kibum dan Jonghyun saling berpandangan. “Apa? Dia berjanji tidak akan menggangguku lagi kalau aku bilang iya. Kau akan pergi ke sana kan malam ini?”

“Hm, ya,” jawab Kibum. “Kau benar-benar akan datang?”

Aku tersenyum dan berjalan menuju aula melewati mereka, penasaran apakah Minho akan menepati janjinya untuk tidak merayuku. Ia bukan orang yang sulit ditebak, ia melihatku sebagai tantangannya, atau hanya tidak tertarik untuk hanya menjadi sekedar teman. Aku tidak yakin mana yang paling menggangguku.

•••

Kibum mngetuk pintu kamarku dan akan mengantarku ke tempat Jinki dan Minho. Ia tidak dapat menahan diri ketika aku keluar kamar.

“Astaga, Taemin! Kau seperti gelandangan!”

“Bagus,” kataku sambil melihat kembali pakaian yang aku kenakan. Celana jin usang yang robek di sana-sini, kaos pendek putih polos–hampir transparan–yang longgar di tubuhku, oh dan jangan lupakan rambutku yang sudah mulai memanjang tanpa ku sisir. Dan aku sengaja memakai sandal jepit untuk menunjang penampilanku malam ini. Ide ini datang satu jam sebelumnya, berpenampilan tidak menarik adalah ide yang sangat bagus. Idealnya, Minho menjadi tidak tertarik dan akan menghentikan kelakuan bodohnya. Jika ia mencari teman hangout, aku akan memberikan alasan kalau bajuku tak pantas untuk berjalan bersamanya.

“Kau sangat jelas. Mengapa kau tidak berguling-guling di kolam lumpur sekalian untuk membuat penampilanmu lengkap?”

“Aku tidak bertujuan untuk menarik perhatian seseorang,” kataku.

“Sangat jelas.”

Kami berhenti di tempat parkir rumah Jinki dan Minho. Aku mengikuti Kibum menaiki tangga sedikit sebelum sampai pintu utama. Jinki membukakan pintu dan tertawa ketika aku melangkah masuk.

“Apa yang terjadi padamu?”

“Dia mencoba untuk tidak menarik,” Kibum menjawab.

Kibum mengikuti Jinki ke kamarnya. Pintunya ditutup dan aku berdiri sendirian, merasa canggung. Aku duduk di kursi malas dekat pintu dan menendang lepas sandal jepitku.

Rumah mereka terlihat lebih menyenangkan dibandingkan dengan rumah bujangan pada umumnya. Poster wanita setengah telanjang dan rambu-rambu jalan yang mereka curi terpasang di dinding, tapi semua itu bersih. Kursi tampak masih baru dan bau bir basi atau pakaian kotor sama sekali tidak ada.

“Sudah waktunya kau datang,” Minho berkata sambil menjatuhkan diri ke kursi. Aku tersenyum dan membetulkan posisi, menunggu ia mundur karena melihat penampilanku.

“Kibum menyelesaikan dulu makalahnya.”

“Bicara tentang makalah, apa kau sudah menyelesaikan makalah tentang mata kuliah Sejarah?” ia sama sekali tidak peduli dengan rambutku yang berantakan dan aku tidak menyukai reaksinya.

“Apa kau sudah menyelesaikannya?” tanyaku balik.

“Aku sudah menyelesaikannya tadi sore.”

“Batas waktunya kan masih seminggu yang akan datang,” kataku heran.

“Aku baru saja menyelesaikannya. Lagipula apa susahnya makalah setebal dua lembar, ya kan?”

Well, aku pikir aku hanya orang yang suka menunda pekerjaan,” aku menarik nafas. “Aku mungkin baru akan mulai mengerjakannya akhir minggu ini.”

“Kalau kau butuh bantuan, beritahu aku.”

Aku menunggunya tertawa, atau menunjukkan kalau ia hanya bercanda, tapi ekspresinya begitu tulus.

“Kau akan membantuku mengerjakan makalah?” aku mengangkat salah satu alisku.

“Aku mendapat nilai A di kelas Sejarah,” katanya sedikit kesal karena aku tidak mempercayainya.

“Dia mendapat nilai A dalam semua mata kuliah yang dia ambil. Dia sangat jenius. Aku sangat membencinya,” Jinki berkata sambil berjalan ke ruang tamu diikuti Kibum di belakangnya. Aku menatap Minho dengan tatapan tidak percaya dan alisnya naik.

“Apa? Kau pikir pria yang bertarung sebagai mata pencahariannya tidak akan mendapat nilai bagus di kelasnya? Aku tidak menyukai kuliah karena aku tidak punya kegiatan yang lebih baik untuk aku kerjakan.”

“Lalu kenapa kau harus bertarung? Kenapa tidak mencoba beasiswa?” tanyaku.

“Sudah. Aku diberi beasiswa setengah dari jumlah uang kuliahku. Tapi ada sejumlah buku, biaya hidup, dan aku harus mendapatkan uang untuk menutupi biaya kuliahku yang setengahnya lagi. Aku serius, Taemin. Kalau kau membutuhkan bantuanku, tinggal beritahu saja.”

“Aku tidak membutuhkan bantuanmu, aku bisa mengerjakan makalahku sendiri,” aku ingin berhenti. Aku seharusnya berhenti. Tapi sisi barunya menumbuhkan rasa penasaranku. “Apa kau tidak bisa mencari pekerjaan lain yang tidak terlalu.. sadis?”

“Itu pekerjaan mudah untuk mendapatkan uang. Aku tidak bisa mendapatkan uang sebanyak itu kalau aku bekerja di mall,” Minho menghela napas.

“Aku tidak akan bilang itu pekerjaan mudah kalau wajahmu bisa terluka karena pukulan.”

“Apa? Kau mengkhawatirkanku?” ia mengedipkan matanya. Aku terdiam dan ia tertawa cekikikan. “Aku tidak sesering itu kena pukulan. Kalau mereka mengayunkan pukulannya, aku bergerak. Itu tidak sulit,” aku tertawa.

“Kau melakukan itu seperti tidak akan ada orang yang akan mengantisipasi gerakanmu.”

“Ketika aku mengayunkan pukulanku, mereka menerimanya dan mencoba untuk membalas. Mereka tidak akan menang kalau begitu,” aku memutar mataku.

“Makhluk apa kau sebenarnya? The Karate Kid? Dimana kau belajar bertarung?”

Jinki dan Kibum saling pandang, kemudian mereka berdua menatap lantai. Tidak lama bagiku untuk mengetahui kalau aku telah mengatakan sesuatu yang salah. Tapi Minho tampak tidak terganggu.

“Aku memiliki seorang ayah yang suka mabuk dan sangat temperamen. Serta kakak laki-laki yang mempunyai gen seorang bajingan.”

“Oh,” telingaku memerah.

“Tidak perlu malu. Ayah sudah berhenti minum. Dan kakakku semakin dewasa.”

“Aku tidak merasa malu,” aku merasa gelisah karena poniku yang mengganggu pandangan. Aku memutuskan untuk menguncirnya ke atas, mencoba untuk menghindari situasi yang hening dan canggung.

“Aku suka penampilanmu yang natural. Biasanya tidak ada yang datang kemari berdandan seperti itu.”

“Aku dipaksa datang kemari. Tidak terpikir olehku untuk membuatmu kagum,” kataku jengkel karena ternyata rencanaku gagal.

Ia tersenyum seperti anak kecil, tersenyum geli, dan aku memunculkan rasa marahku, berharap rasa gelisahku tidak terlihat. Aku tidak tahu bagaimana perasaan para perempuan itu saat bersamanya, tapi aku sudah pernah melihat bagaimana kelakuan mereka di dekatnya. Aku lebih merasa pusing dan mual daripada cekikikan tergila-gila. Semakin ia berusaha membuatku tersenyum, aku semakin merasa tidak menentu.

“Aku sudah merasa kagum. Biasanya aku tidak harus memohon pada seseorang agar mereka datang ke rumahku.”

“Aku yakin begitu,” kataku dengan sebal.

Ia adalah orang yang rasa percaya dirinya sangat parah. Tidak saja ia tidak tidak tahu malu menyadari penampilannya, ia sudah terbiasa dengan orang-orang yang menawarkan dirinya sehingga ia menganggap sikap dinginku menjadi angin segar daripada menganggapnya menyinggung. Aku harus merubah strategiku.

Kibum mengarahkan remote ke arah televisi dan menyalakannya. “Ada film bagus malam ini,” Minho berdiri.

“Aku baru mau pergi makan malam. Apa kau lapar, Taemin?”

“Aku sudah makan,” jawabku.

“Belum. Kau belum makan,” kata Kibum sebelum nenyadari kesalahannya. “Ah–eh–ya benar, aku lupa tadi kau makan hm.. pizza? Sebelum pergi tadi.”

Aku menyeringai padanya yang bermaksud memperbaiki kesalahan besarnya dan kemudian menunggu reaksi Minho.

“Ayo. Kau pasti lapar,” ia berjalan sambil menyeretku keluar.

“Kita mau kemana?”

“Kemanapun yang kau mau. Kita bisa beli pizza.”

“Aku tidak memakai pakaian yang pantas untuk pergi,” kataku seraya melihat pakaianku. Ia menilai penampilanku sebentar lalu menyeringai.

“Kau sangat baik. Mari kita pergi, aku sudah kelaparan.”

Aku berhenti di tempat parkir dan memandang ketakutan ketika ia menaiki motor hitam. Terdiam kemudian meremas jari kakiku yang terbuka. Ia memandangku dengan tidak sabar.

“Ayo naik. Aku akan hati-hati.”

“Apa itu?” tanyaku terlambat membaca tulisan di atas tangki bensin.

“Ini adalah Harley Night Rod. Dia adalah cinta dalam hidupku, jadi jangan menggores catnya ketika kau naik.”

“Aku memakai sandal jepit kalau kau lupa,” kesalku.

“Aku memakai sepatu bot. Ayo naik.”

Ia memakai helmnya. Dan suara mesin menggeram saat ia menyalakannya. Aku naik dan meraih sesuatu untuk berpegangan, tapi tanganku tergelincir dari kulit ke cover plastik di atas lampu belakang. Minho memegang dan memelukkan tanganku di pinggangnya.

“Tidak ada tempat untuk berpegangan kecuali aku, Sweety. Jangan lepas,” katanya sambil mendorong motor ke belakang dengan kakinya. Dengan sekali hentakan tangannya, ia mengarah ke jalan dan melaju seperti roket. Aku menunduk di belakang Minho, mengetahui aku akan berakhir dengan kotoran serangga apabila aku melihat ke depan dari atas bahunya.

“Kau sinting!” Minho tertawa kecil, memiringkan motornya di atas standarnya sebelum turun.

“Aku hanya mengikuti aturan batas kecepatan maksimal.”

“Ya, kalau kita di jalan raya,” kataku. Minho memperhatikanku dan menarik karet yang aku gunakan untuk menguncir poniku, lalu melangkah menuju pintu kemudian membuka dan menahannya.

“Aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi pada dirimu, Taemin.”

Aku menerobos masuk melewati dirinya ke dalam restoran, kepalaku tidak sejalan dengan kakiku. Wangi lemak dan bumbu memenuhi udara saat aku mengikutinya melewati karpet yang penuh dengan remah roti. Ia memilih tempat duduk di pojok, jauh dari gerombolan pelajar dan beberapa keluarga, lalu memesan dua bir. Aku mengamati ruangan, memperhatikan para orang tua yang membujuk anaknya yang ribut untuk makan. Aku mengalihkan pandanganku dari pandangan ingin tahu beberapa mahasiswa yang aku ketahui berasal dari universitas yang sama denganku.

“Tentu, Minho,” kata pelayan, menuliskan pesanan minum kami. Pelayan itu rampak sedikit lebih tinggi dari Minho saat ia kembali ke dapur.

Aku menyelipkan rambutku ke belakang telinga karena terkena tiupan angin, tiba-tiba merasa malu dengan penampilanku.

“Sering datang ke sini?” tanyaku.

So, ceritakan tentang dirimu, Taemin. Apakah kau selalu membenci pria yang mendekatimu atau hanya aku?” Minho bersandar di atas meja, sikunya menahannya di atas meja, mata bulatnya terpaku menatap mataku.

“Aku pikir aku hanya membenci dirimu,” gerutuku. Ia tertawa geli melihat suasana hatiku.

“Aku tidak dapat menebak dirimu. Kau orang pertama yang muak padaku sebelum tidur denganku. Kau tidak gugup kalau sedang bicara denganku dan kau tidak mencoba untuk menarik perhatianku.”

“Itu bukan taktik. Aku hanya tidak menyukaimu.”

“Kau tidak akan berada di sini kalau tidak menyukaiku,” aku merasa rasa tidak sukaku harus diperhalus dan akupun menghela napas.

“Aku tidak pernah bilang kau orang jahat. Aku hanya tidak suka satu alasan yang tidak bisa terelakkan karena harus tidur denganmu,” aku fokus pada butiran garam yang ada di atas meja hingga mendengar suara tersedak dari arah Minho. Matanya melebar dan ia bergetar saat tertawa.

“Ya Tuhan! Kau membunuhku! Sudah pasti. Kita harus berteman. Aku tidak akan menerima jawabanmu jika kau menolak.”

“Aku tidak keberatan jika kita berteman, tapi itu bukan berarti kau akan berusaha memasuki celana dalamku setiap lima detik.”

“Karena kau tidak akan tidur denganku. Aku mengerti,” aku mencoba untuk tidak tersenyum, tapi gagal. Matanya berbinar. “Aku berjanji. Aku tidak akan memikirkan celana dalammu. Kecuali kau menginginkannya,” aku meletakkan sikuku di atas meja dan bersandar ke depan.

“Dan itu tidak akan terjadi, so kita bisa menjadi teman,” seringai nakal tampak jelas di wajahnya saat ia mendekatiku.

“Jangan pernah bilang tidak akan.”

Well, ceritakan tentang dirimu.”

“Apa yang ingin kau ketahui tentangku?”

“Hal yang biasa saja. Kau berasal dari mana? Apa cita-citamu saat dewasa nanti? Hal-hal seperti itu.”

“Aku orang sini. Lahir dan dibesarkan disini. Dan aku mengambil jurusan Hukum Pidana.”

Dengan tarikan napas panjang, ia membuka bungkusan alat makannya  dan menaruhnya di samping piringnya. Ia melirik ke belakangnya dan aku menyadari rahangnya sedikit menegang ke arah mereka yang ada di sekitar kami. Tim sepakbola duduk di dua meja dan tawa mereka meledak. Minho tampak terganggu dengan apa yang mereka tertawakan.

“Kau bercanda,” kataku tak percaya.

“Tidak, aku orang sini,” katanya teralihkan.

“Maksudku tentang jurusan yang kau ambil. Kau tidak seperti tipe Hukum Pidana,” alis mengkerut. Tiba-tiba fokus dengan percakapan kami.

“Kenapa?”

“Aku hanya bilang kau lebih mirip kriminal daripada hukum.”

“Aku tidak pernah terlibat masalah hampir sepanjang hidupku. Ayahku sangat keras.”

“Dimana ibumu?”

“Beliau meninggal waktu aku masih kecil,” ia menjawab.

“Maafkan aku,” kataku sambil menundukkan kepala. Jawabannya membuatku tidak siap. Ia menolak rasa simpatiku.

“Aku tidak mengingatnya. Tapi kakakku mengingatnya, aku baru berumur tiga tahun waktu beliau meninggal.”

“Dan ayahmu? Di mana sekarang?”

“Ada,” ia menjawab. Rahangnya tegang lagi, semakin terganggu oleh tim sepakbola.

“Apa yang mereka tertawakan?” tanyaku, menunjuk ke arah meja yang gaduh. Ia menggelengkan kepalanya, sangat jelas tidak ingin memberitahu. Aku melipat tanganku dan menggeliat di tempat dudukku, cemas dengan apa yang mereka katakan yang membuat Minho merasa terganggu. “Beritahu aku.”

“Mereka menertawakanku yang membawamu makan malam terlebih dahulu. Itu tidak biasa. Bukan kebiasaanku.”

“Terlebih dahulu?” ketika kenyataan terlihat di wajahku, Minho memperhatikan ekspresiku. Aku bicara tanpa berpikir. “Justru aku takut mereka menertawakanmu karena mengajakku makan malam dengan pakaian seperti ini dan mereka pikir aku akan tidur denganmu,” gumamku.

“Kenapa aku tidak akan pernah terlihat jalan bersamamu?”

“Apa yang kita bicarakan?” tanyaku mengusir rasa panas yang meningkat di bawah pipiku.

“Kau. Apa jurusan yang kau ambil?” tanyanya.

“Aku? Hm.. Umum, sekarang. Akuntansi maksudku.”

“Kau bukan berasal dari sini kan? Sangat terlihat jelas.”

“Jeju. Sama dengan Kibum.”

“Kenapa bisa berada di sini?”

“Kami hanya pergi dari sana,” aku mengambil label botol birku.

“Menghindar dari?”

“Orangtuaku.”

“Oh. Bagaimana dengan Kibum? Apa dia memiliki masalah dengan orang tuanya juga?”

“Tidak. Paman dan Bibi Kim sangat baik. Mereka hampir bisa dibilang yang merawatku. Dia cuma ingin ikut, dia tidak mau aku pergi sendirian,” Minho mengangguk.

“Jadi kenapa memilih universitas kita?” tanyanya lagi. Pertanyaannya mulai menyimpang dari yang biasa saja ke pertanyaan yang lebih pribadi dan aku mulai merasa tidak nyaman.

Beberapa kursi saling membentur ketika tim sepakbola meninggalkan tempat duduk mereka. Mereka saling melempar lelucon untuk terakhir kalinya sebelum mereka berjalan ke arah pintu keluar. Mereka berjalan lebih cepat saat Minho berdiri. Mereka yang di belakang mendorong yang di depan agar bisa kabur sebelum Minho berjalan ke seberang ruangan. Ia duduk, memaksa rasa marah dan frustasinya pergi. Aku mengangkat salah satu alisku.

“Kau tadi baru akan menjelaskan kenapa memilih universitas kita,” ia memaksa.

“Sangat sulit untuk dijelaskan,” jawabku sambil mengangkat bahu. “Aku hanya merasa ini pilihan yang tepat,” ia tersenyum.

“Aku tahu maksudmu.”

•to be continued•

An : Hai. Sorry for very long time to publish. I lost my draft before, so I must wrote it again. Dan ya sedikit ada masalah dengan mood yang tidak menentu, jadi makin lama dan akhirnya hampir sebulan haha. Maaf ya.

19 thoughts on “The Bet : Love Begin #1

  1. Ria 2017-02-07 / 9:44 pm

    Part 2 gk bisa dibuka.Aku udah comment loh.

    Like

    • nad (bluesch) 2017-02-07 / 9:47 pm

      Part selanjutnya belum di publish, Dear. Ditunggu ya ^^

      Terima kasih sudah berkunjung 😉

      Like

      • Ria 2017-02-08 / 1:14 pm

        Iya sama2.
        Oh,emang blm dipost yah.Jangan lama2 yah postnya.

        Liked by 1 person

  2. Ria 2017-02-07 / 9:40 pm

    Karakternya pas banget dah.Minho suka tebar pesona dan jadi cowok play boy.Key yg selalu proteck terhadap Taemin.Taemin yg….biasalah,adik kecil yg manis yg bisa membuat Minho kecantol ama dia.Jinki spt biasa merupakan sosok pelindung.Meskipun rada gimana gitu Jinki sama Minho sepupuan.Tapi ceritanya menarik.

    Like

    • nad (bluesch) 2017-02-07 / 9:46 pm

      Ini cuma rewritten novel punya orang kok. But thanks sudah membaca 😉

      Like

      • Ria 2017-02-08 / 1:12 pm

        Iya,tapi karakternya pas bnget.Makasih juga udah mau remakin.Bagus ceritanya.

        Liked by 1 person

  3. minnalee 2017-02-06 / 5:36 am

    gue kirain mreka udah pcaran gtu pas awal krn minho manggil taem sweety… eh trnyata si minho emang gnit org.a….hehehe
    taem gak ngaruh tuh am rayuan.a minho skrg…
    masa lalu taem ap ya??? pnasaran…
    taem gak mau tdur ama minho??? yakin???
    d tggi lanjutan.a…

    Like

    • nad (bluesch) 2017-02-06 / 8:30 am

      Minho mah genit sama siapa aja. Aku aja dia genitin wkwkwk.

      Terima kasih sudah berkunjung 😉

      Like

  4. fairytaeminho 2017-02-05 / 8:50 am

    wow..
    jadi minho kyk 2 orang berbeda gitu ya klo malem jadi petarung klo pagi macem idol kampus.
    hahaha taemin gk mempan sama rayuan minho. hihihihi emabg kenapa sama masa lalu taemin ya? penasaran..
    hehehe pertama temenan trus pdkt.an. hahaha lanjutannya jgn lama” ya di tunggu

    Like

    • nad (bluesch) 2017-02-05 / 9:19 am

      Yup. Betul sekali. Udah dijelasin di teaser sebelumnya hehe.

      Terima kasih sudah berkunjung 😉

      Like

    • nad •bluesch• 2017-02-04 / 9:39 pm

      Hehe iya nih. Mereka mana mau sih jauh-jauhan wkwk.

      Terima kasih sudah berkunjung 😉

      Like

Fill this if you wanna say something about my post.