The Bet : Love Begin #2

AN ORIGINAL NOVEL WRITTEN BY JAMIE MCGUIRE WITH TITLE “BEAUTIFUL DISASTER”

Rewritten by bluesch ©2017

A poster by Afina23@Poster Channel

| Minho, Taemin, Kibum, Jinki |

•cue•

Wajah-wajah yang familiar memenuhi tempat duduk di meja makan. Kibum duduk di sebelahku dan Jonghyun duduk di sisi yang lain. Tempat kosong lainnya di duduki Jinki dan klub perkumpulannya. Sangat sulit untuk mendengar di kafetaria karena bising dan pendingin udara sepertinya  mati lagi. Tercium bau yang menyengat dari makanan yang digoreng dan kulit yang berkeringat di udara, tapi tampaknya semua orang lebih bersemangat dari biasanya.

“Hai, Jongin,” sapa Jinki ke arah pria yang sedang duduk dihadapanku. Kulit kecokelatan dan matanya tertutup oleh topi putih tim sepakbola universitas yang ditarik hingga ke bawah dahinya.

“Kau menghilang setelah pertandingan kemarin. Aku jadi meminum jatah birmu,” katanya sambil tersenyum lebar.

“Kau menduduki kursiku, Hitam,” Jongin menoleh dan melihat Minho berdiri di belakangnya kemudian memandangku dengan rasa terkejut.

“Oh! Apakah dia salah satu dari pacarmu, Minho?”

“Sama sekali bukan,” jawabku sambil menggelengkan kepala.

Jongin melihat lagi kearah Minho yang sedang menatapnya dengan penuh harap. Jongin menarik napas panjang lalu membawa nampan makanannya ke ujung meja. Minho tersenyum kepadaku ketika ia duduk.

“Apa kabar, Sweety?”

“Apa itu?” tanyaku seraya terus memandangi nampannya yang berisi makanan aneh di atas piringnya tampak seperti lilin. Minho tertawa sambil meminum air dari gelasnya.

“Pekerja kafetaria manakutkan. Aku tidak akan mengkritik keterampilan mereka dalam memasak.”

Aku menyadari tatapan menilai dari mereka yang duduk satu meja bersama kami. Kelakuan Minho mengusik rasa ingin tahu mereka, aku tersenyum tenang karena menjadi satu-satunya orang yang mereka lihat yang membuat Minho memaksa untuk berdekatan dengannya.

“Ah.. Nanti setelah makan siang ada ujian Biologi. Menyebalkan sekali,” gerutu Kibum.

“Kau sudah belajar?” tanyaku.

“Tentu saja belum. Tadi malam aku menghabiskan waktu untuk meyakinkan Jinki bahwa kau takkan tidur dengan Minho.”

“Aku yakin bukan hanya itu yang kalian lakukan,” gumamku lirih mengejek Kibum.

“Apa kau bilang?”

“Huh? Bukan apa-apa.”

Aku melirik pemain sepakbola yang duduk di ujung meja kami karena menghentikan tawanya agar bisa mendengar lebih jelas, membuat semua orang heran. Aku kemudian membelalakan mata ke arah Kibum, tapi ia tak peduli. Sial.

“Ya Tuhan, Jinki. Kau mengira aku seburuk itu?” tanya Minho sambil melempar sebungkus saos ke arah Jinki. Jinki tak menjawab, hanya mengendikkan bahu. Aku tersenyum menghargai Minho karena mencoba untuk mengalihkan perhatian.

“Dia akan baik-baik saja. Hanya saja dia butuh waktu untuk percaya kalau Taemin menolak pesonamu,” ujar Kibum seraya mengusap punggung kekasihnya.

“Aku belum mencoba menarik perhatiannya,” Minho mendengus, tampaknya tersinggung. “Dia temanku.”

“Sudah aku bilang tidak perlu khawatir, Jinki-ya,” ujarku. Akhirnya Jinki menatapku. Melihat ekspresi tulusku, matanya sedikit bersinar seperti biasanya.

“Apa kau sudah belajar?” tanya Minho padaku.

“Selama apapun aku belajar, tidak akan membantu. Biologi bukan mata kuliah yang mudah dipelajari,” ujarku sembari cemberut.

Minho berdiri dan.. “Ayo.”

“Huh?”

“Ambil catatanmu. Aku akan membantumu belajar.”

“Minho—”

“Ayo berdiri, Taemin. Kau akan mendapat nilai yang bagus ujian nanti.”

•••

Aku mengikuti Minho memasuki perpustakaan. Aku mengeluarkan catatan dari tas kemudian ia membuka-bukanya. Ia memberikan pertanyaan tiada henti dan menjelaskan segala sesuatu yang tidak kumengerti. Dengan caranya menjelaskan, konsep yang tadinya kuanggap sulit untuk dimengerti, menjadi lebih mudah.

“.. Dan somatik sel menggunakan mitosis untuk berkembang biak. Di situlah terdapat fase-fase. Terdengar seperti nama perempuan. Prometa Anatela.”

“Prometa Anatela?”

Prophase, Metaphase, Anaphase, dan Telophase.”

“Prometa Anatela,” aku mengulangi sambil mengangguk. Tiba-tiba ia memukulkan kertas catatan itu ke atas kepalaku.

“Kau sudah hapal semua. Kau sudah mempelajari catatan ini berulang-ulang,” katanya seperti merapalkan matra padaku. Aku menghela napas.

Well, kita lihat saja nanti.”

“Ayo. Aku akan mengantarmu ke kelas. Dan aku akan menanyakan beberapa pertanyaan sepanjang jalan.”

“Kau tidak akan marah, kan, kalau aku gagal dalam ujian ini?”

“Kau tidak akan gagal, Sweety. Lain kali kita harus belajar lebih awal,” katanya sambil terus berjalan di sampingku.

“Bagaimana caranya kau membantuku belajar? Tugasmu? Berlatih bertarung?” ia tertawa mendengar pertanyaanku.

“Aku tidak berlatih. Adam akan menghubungiku, memberitahukan tempat bertarungnya dan aku tinggal datang.”

Aku menggelengkan kepala tak percaya, kemudian ia memegangang catatanku dan mengajukan beberapa pertanyaan seperti katanya sebelumnya. Kami hampir selesai untuk kedua kalinya mempelajari catatan biologiku saat tiba di depan kelasku.

“Kau pasti berhasil,” ia tersenyum sambil menyerahkan catatanku dan bersandar pada kusen pintu.

“Hai, Minho,” aku berpaling dan melihat lelaki tinggi kurus tersenyum ke arah Minho ketika akan masuk kelas.

“Halo, Kim-ssi,” Minho mengangguk. Matanya berbinar saat melihat ke arahku kemudian tersenyum.

“Hai, Taemin.”

“Hai,” jawabku terkejut ia bisa tahu namaku. Aku pernah melihatnya di kelas tapi kami tidak pernah saling sapa.

Orang yang belum aku ketahui namanya itu terus berjalan menuju tempat duduknya, bercanda dengan beberapa orang yang duduk di sebelahnya.

“Siapa dia?” tanyaku. Minho mengangkat bahunya, tapi kulit di sekitar matanya menjadi semakin tegang dari sebelumnya.

“Kim Jungmo. Dia salah satu teman klubku,” jawabnya sambil mengibaskan catatanku. “Sebaiknya kau masuk kelas.”

“Terima kasih sudah membantuku,” kataku menyenggolnya dengan sikuku. Kibum masuk ke kelas dan aku mengikutinya menuju tempat duduk kami.

“Bagaimana tadi?” tanyanya. Aku mengangkat bahu sebelum menjawabnya.

Well, dia pengajar yang baik.”

“Hanya pengajar?”

“Dia teman yang baik juga,” ia tampak kecewa dengan jawabanku. Dan aku tertawa melihat ekspresi di wajahnya.

•••

Aku telah mengerjakan ujianku dan duduk di tangga di luar gedung, menunggu Kibum. Ketika duduk di sebelahku, merasa tak dapat mengerjakan soal ujian dengan baik. Aku menunggunya berbicara.

“Tadi itu sangat sulit,” rengeknya.

“Kau harus ikut belajar aku dan Minho. Dia menjelaskan dengan sangat baik.”

“Kau tidak membantu sama sekali. Tidak bisakah kau cuma mengangguk atau semacamnya?” Kibum mengerang dan bersandar di bahuku. Aku memeluk lehernya dan menuntunnya menuju asrama.

•••

Selama seminggu berikutnya, Minho membantuku membuat makalah mata kuliah sejarah dan mengajariku biologi. Aku dan Minho mengamati papan nilai yang terpasang di depan kantor dosen biologiku. Nomor mahasiswaku berada diurutan ketiga dari atas.

“Urutan ketiga tertinggi. Bagus Sweety!” katanya seraya memelukku. Matanya yang bulat itu bersinar karena senang dan bangga, kemudian suasana menjadi canggung dan ia melepas tangannya dari tubuhku.

“Terima kasih, Minho. Aku tak akan berhasil tanpa bantuanmu,” ujarku sambil menarik bajunya. Ia memeluk leherku sambil berjalan ke arah kerumunan di belakang kami.

“Awas! Minggir! Beri jalan untuk bocah malang yang menyeramkan, rusak, dan berotak encer ini! Dia benar-benar jenius!” serunya membanggakanku. Aku hanya bisa tertawa melihat ekspresi senang dan penasaran teman satu kelasku.

•••

Ketika hari-hari berlalu,kami berhasil menurunkan gosip tentang hubungan kami. Reputasi Minho dapat menghilangkan gosip itu. Ia tidak pernah setia pada satu orang lebih dari satu malam, jadi semakin sering kami terlihat bersama, maka orang-orang semakin mengerti kalau kami hanya hubungan teman biasa, tidak lebih. Meskipun dengan pertanyaan yang sering diajukan para mahasiswa tidak pernah surut.

Ia selalu duduk di sampingku setiap mata kuliah sejarah dan makan siang bersama. Tidak membutuhkan waktu yang lama untukmenyadari kalau aku telah salah menilainya, yang ada aku selalu membelanya di depan orang yang tidak mengenal Minho sepertiku.

Di kafetaria ia duduk di hadapanku dan menaruh sekaleng jus jeruk di meja di hadapanku.

“Kau tak perlu melakukannya. Aku bisa mengambilnya sendiri,” kataku sambil membuka jaket.

So, sekarang kau tak perlu mengambilnya, kan?” katanya.

“Apa dia telah mengubahmu menjadi seorang pesuruh, Minho? Apa selanjutnya, kau akan mengipasinya dengan daun?” dengus Jongin yang duduk di samping Minho.

“Tutup mulutmu, Hitam,” ketusku untuk membela Minho.

“Tenanglah, Taemin. Aku hanya bercanda.”

“Yang jelas, jangan bicara seperti itu padanya,” kataku. Ekspresi Minho terkejut bercampur senang.

“Sekarang aku sudah melihat semua. Aku dibela seseorang,” kata Minho sambil berdiri. Sebelum membawa nampannya, ia memberi tatapan peringatan pada Jongin kemudian berjalan keluar .

Aku berusaha untuk tidak memerhatikannya yang sedang mengobrol dan tertawa bersama temannya. Setiap perempuan bersaing untuk mendapat tempat di sampingnya, Kibum yang duduk di sebelahku menyenggol dengan sikunya ketika ia menyadari perhatianku.

“Apa yang kau liat, Taemin?”

“Tidak ada. Aku tidak sedang melihat apapun,” aku melihat Kibum meletakkan dagunya di atas tangannya yang terlipat dan menggelengkan kepalanya.

“Mereka sangat mencolok. Lihat si rambut merah itu. Dia memainkan jari di rambutnya sebanyak dia berkedip. Aku penasaran, apakah Minho pernah merasa bosan dengan itu?” tanya Kibum dan dijawab anggukan oleh Jinki.

“Dia pernah. Semua orang menganggapnya bajingan. Andaikan mereka tahu bagaimana sabarnya dia menghadapi semua perempuan yang berpikir mereka bisa menjinakkannya. Dia tak bisa pergi kemanapun tanpa gangguan dari mereka. Percayalah, dia jauh lebih sopan dari aku kalau berada di posisinya.”

“Seperti kau tidak akan menikmatinya saja,” kata Kibum sambil mencium pipi tembam Jinki.

Aku lihat Minho sudah selesai bercengkerama dengan teman-temannya di luar kafetaria saat aku melewatinya.

“Tunggu, Taemin. Aku akan mengantarmu.”

“Kau tidak harus mengantarku ke setiap kelasku, Minho. Aku tahu caranya kesana meskipun sendirian.”

Minho mudah sekali teralihkan perhatiannya dengan perempuan berambut panjang yang berjalan sambil tersenyum padanya. Terlebih ia mengenakan rok pendek di atas lutut. Matanya mengikuti perempuan itu dan mengangguk ke arahnya.

“Kalau begitu, sampai bertemu nanti, Sweety,” katanya tanpa menoleh ke arahku. Aku hanya membalasnya dengan dengungan malas ketika ia berlari ke samping perempuan itu, kemudian aku menggelengkan kepalaku.

•••

Tempat duduk Minho tetap kosong selama mata kuliah berlangsung dan aku merasa sedikit jengkel karena ia membolos untuk seorang perempuan tak dikenal. Profesor Park membubarkan kelas lebih awal, aku bergegas menyeberangi halaman rumput karena ada janji dengan Jonghyun di depan asrama untuk memberinya catatanku. Aku mempercepat langkahku saat melihat jam di pergelangan kiriku. Aku sudah terlambat.

“Taemin?” ada seseorang yang memanggilku. Aku berhenti dan menoleh ke asal suara. Ia berlari menyeberangi halaman rumput untuk berjalan di sampingku. “Aku pikir kita belum berkenalan secara resmi,” katanya sambil mengulurkan tangannya. “Kim Jungmo.”

“Lee Taemin,” senyumku sambil membalas uluran tangannya.

“Aku ada di belakangmu ketika kau melihat hasil nilai biologi. Selamat,” ia tersenyum sambil memasukkan tangan ke dalam saku celananya.

“Terima kasih. Minho yang membantuku belajar, kalau tidak, mungkin aku berada di urutan ketiga dari bawah.”

“Oh! Apakah kalian—“

“Sahabat,” Jungmo tersenyum mendengar jawabanku kemudian mengangguk.

“Apakah dia memberitahumu bahwa akan ada pesta di The House?”

“Kami kebanyakan membahas tentang biologi dan makanan,” Jungmo tertawa.

“Itu terdengar seperti Minho,” di depan aula, Jungmo mengamati wajahku. “Kau harus datang. Itu akan menyenangkan.”

“Aku akan bicara dengan Kibum. Kupikir kami tak memiliki rencana apapun.”

“Apakah kalian satu paket?”

“Kami bersumpah tidak akan datang ke pesta sendirian musim ini,” ia mengangguk setuju.

“Dia sudah bersama Jinki, jadi aku jarang bisa bersamanya. Ini akan yang pertama kalinya aku meminta bantuannya, kupikir dia akan senang untuk datang,” aku hanya mengoceh. Kentara sekali kalau aku tidak pernah diajak ke sebuah pesta.

“Bagus. Sampai bertemu di sana,” katanya. Ia memancarkan kesempurnaan; senyum yang indah, kulit putih, badan tinggi semampai bak model, serta rambut yang tercukur rapi. Ia berbalik berjalan menuju kampus. Aku terus memandanginya ketika ia pergi. Aku menggigit bibirku, tersanjung oleh undangannya.

“Nah kalau dia lebih cocok untukmu,” Jonghyun berbisik di telingaku.

“Dia tampan, kan?” tanyaku tak bisa berhenti tersenyum.

“Sudah pasti tampan—dalam posisi misionari.”

YA!” aku berteriak sambil memukul bahunya.

“Apakah kau membawa catatanmu?”

“Bawa,” jawabku seraya mengeluarkannya dari tasku.

“Benar-benar hebat,” katanya sambil membolak-balikkan halamannya. Ia menggulung dan menyimpannya ke dalam saku tasnya. “Untung pemanas air di asrama mati. Kau membutuhkan mandi air dingin setelah bermain mata dengan Kim Jungmo.”

“Di asrama tak ada air panas?” tanyaku sedikit sedih.

Yup. Aku pergi dulu, ada kelas aljabar. Beritahu Kibum jangan lupakan aku akhir minggu ini,” kata Jonghyun sambil mengenakan tas ranselnya.

“Aku akan memberitahunya,” aku berjalan ke kamarku yang tidak jauh lagi. Kubuka pintu kamarku dan menerobos masuk. Menjatuhkan tas ranselku begitu saja karena kesal tak ada air panas.

Ponselku bergetar tanda pesan masuk. Aku tersenyum geli membaca pesan Kibum yang memaki-maki karena pemanas air mati. Beberapa menit kemudian ada yang mengetuk pintu kamarku. Kibum masuk dan menjuthkan diri ke atas tempat tidurku.

“Apa kau percaya omong kosong ini, Taemin? Kita sudah membayar mahal tapi tidak bisa mandi air panas,” gerutunya. “Ah!” Kibum mengeluarkan ponselnya kemudian mengetik pesan dengan ketepatan dan kecepatan yang luar biasa. Ponselnya bergetar dan ia tersenyum ke arahku. “Kita akan menginap di tempat Jinki dan Minho sampai pemanas air selesai diperbaiki.”

“Huh? Aku tak akan ikut,” sahutku

“Oh kau harus ikut, Taemin. Tidak ada alasan untukmu terkurung di sini dan mandi air dingin sedangkan Minho dan Jinki memiliki dua kamar mandi di rumah mereka.”

“Aku tidak diajak.”

“Aku mengajakmu. Jinki sudah bilang tidak apa-apa. Kau bisa tidur di sofa—kalau Minho tidak sedang memakainya.”

“Kalau dia sedang memakainya?” tanyaku. Kibum mengangkat bahu.

“Kau bisa tidur di kamar Minho.”

“Aku tidak mau,” Kibum memutar matanya.

“Jangan seperti anak kecil, Taemin. Kalian berteman, kan? Jika dia belum mencoba melakukan apapun sekarang, berarti dia tidak akan pernah melakukannya.”

Kata-kata Kibum membuatku menutup mulutku. Minho bersamaku setiap malam semalam seminggu ini. Aku selalu direpotkan untuk meyakinkan semua orang bahwa kami hanya berteman, tidak pernah muncul di benakku kalau dia hanya tertarik untuk berteman. Aku tak tahu mengapa, tapi aku sedikit tersinggung. Aku menghela napas setelah memikirkannya.

“Baiklah, Kibum-ah. Aku akan berkemas dulu.”

“Pastikan kau membawa pakaian untuk tinggal beberapa hari, siapa yang tahu berapa lama untuk memerbaiki pemanas airnya,” katanya sedikit bersemangat. Ada sedikit rasa takut di benakku seperti akan mengintip daerah musuh.

“Ya, baiklah,” Kibum melompat memelukku.

“Ini akan sangat menyenangkan!” serunya.

•••

Kibum hampir tidak menarik napas saat ia asyik mengoceh sambil menyetir. Ia membunyikan klakson saat melambat untuk berhenti di tempat biasa ia parkir. Jinki berlari menuruni tangga dan menarik kedua tas kami dari dalam bagasi kemudian mengikuti kami ke atas.

“Tidak dikunci. Masuklah,” katanya sambil terengah.

Kibum membuka pintu dan aku menahan pintunya untuk Jinki. Ia mendengus saat menurunkan tas kami ke lantai.

“Ya Tuhan, Sayang. Tasmu 10 kilogram lebih berat dari tas Taemin,” gerutunya. Persis sekali seperti Kibum. Tukang menggerutu.

Aku dan Kibum terdiam saat seorang perempuan keluar dari kamar mandi sambil mengancingkan kemejanya.

“Hai,” sapanya tampak terkejut. Matanya—dengan maskara yang berantakan—menatap kami sebelum mendengus melihat ke arah tas kami. Aku mengenalinya sebagai perempuan yang diikuti Minho dari kafetaria.

Kibum membelalakkan mata ke arah Jinki. Jinki mengangkat kedua tangannya di samping kepalanya.

“Dia datang bersama Minho.”

Minho keluar dari pojokan hanya memakai celana boxer sambil menguap. Ia melihat pada tamunya kemudian menepuk bokong perempuan itu.

“Temanku sudah datang. Kau sebaiknya pergi.”

“Aku akan meninggalkan nomor teleponku di meja dapur,” perempuan itu tersenyum dan memeluk Minho lalu mencium lehernya.

“Hm.. Tidak perlu,” kata Minho santai.

“Apa?” tanyanya terkejut lalu melepaskan pelukannya untuk menatap Minho.

“Dia selalu seperti ini, kenapa kau terkejut? Dia adalah Choi Minho si bajingan. Dia terkenal seperti itu tapi selalu saja kalian terkejut,” kata Kibum sambil berbalik ke arah Jinki. Ia memeluk Kibum untuk menenangkannya.

Perempuan itu memincingkan matanya ke arah Minho lalu mengambil tasnya dan berlari keluar sambil membanting pintu di belakangnya. Minho berjalan menuju dapur dan membuka lemari es seperti tidak terjadi apapun.

Kibum menggelengkan kepalanya dan berjalan menuju lorong. Jinki mengikuti, memiringkan badannya untuk mengimbangi berat dari tas Kibum sambil berjalan di belakangnya. Aku duduk bersandar di kursi malas dan menghela napas, merasa kalau aku sudah gila karena setuju untuk ikut.

Aku tak menyadari sebelumnya bahwa rumah Jinki menjadi seperti pintu putar untuk perempuan gampangan yang tak dikenal. Minho berdiri di belakang meja dapur, melipat tangannya di atas dada dan tersenyum.

“Ada apa, Sweety? Lelah?”

“Tidak. Aku hanya merasa jijik.”

“Padaku?” ia tersenyum. Aku seharusnya tahu ia telah mengharapkan obrolan ini. Itu hanya membuatku semakin tidak bisa menahan diri.

“Tentu, siapa lagi? Bagaimana bisa kau memperalat seseorang lalu memperlakukannya seperti itu?”

“Memang bagaimana aku memperlakukannya? Dia menawarkan nomor teleponnya dan aku menolak,” mulutku menganga karena kurangnya rasa bersalah Minho.

“Kau ingin tidur dengannya tapi tidak mau menerima nomor teleponnya.”

“Kenapa aku harus menerimanya kalau aku tak akan pernah meneleponnya?”

“Kenapa kau mau tidur dengannya kalau kau tak akan meneleponnya?”

“Aku tak menjanjikan apapun pada siapapun, Sweety. Dia tidak menuntut suatu hubungan sebelum tidur denganku di sofa,” seketika aku memandang sofa dengan rasa jijik.

“Dia anak perempuan dari seseorang, Minho. Bagaimana jika suatu saat nanti seseorang memperlakukan anak perempuanmu seperti itu?”

“Anak perempuanku sebaiknya tidak menyerahkan celana dalamnya untuk seorang bajingan yang baru dia kenal. Mari kita harap begitu,” aku melipat tanganku, marah akan pikiran Minho.

“Jadi kau mengakui kalau kau adalah bajingan? Kau mengatakan itu karena kau sudah tidur dengannya dan dia pantas untuk dibuang seperti kucing liar?”

“Menurutku aku hanya berusaha jujur padanya. Dia sudah dewasa, atas dasar suka sama suka. Dia malah bersemangat kalau kau ingin tahu yang sebenarnya. Kau bersikap seolah aku melakukan tidak kejahatan.”

“Dia sepertinya tak mengetahui niatmu yang sebenarnya, Minho.”

“Perempuan selalu membenarkan tindakan mereka dengan apapun yang mereka putuskan di dalam kepala mereka. Dia tak memberitahu lebih dulu padaku kalau dia mengharapkan suatu hubungan lebih. Aku sudah katakan sebelumnya kalau aku hanya ingin tidur dengannya tanpa ikatan. Apa bedanya?”

“Dasar brengsek.”

“Aku pernah dihina lebih parah dari itu.”

Aku memandangi sofa yang masih berantakan setelah digunakan Minho tadi. Aku tersentak oleh pikiran sudah berapa banyak orang yang menyerahkan dirinya di atas sofa itu. Membuat gatal kulitku.

“Kupikir aku akan tidur di kursi malas saja,” kataku.

“Kenapa?” aku melotot marah karena ekspresi bingungnya.

“Aku tak akan tidur di sofa itu. Hanya Tuhan yang tahu apa saja yang ada di atas sofa itu,” kesalku. Ia berdiri dan mengangkat tasku dari lantai.

“Kau tak akan tidur di sofa ataupun kursi malas. Kau akan tidur di kamarku.”

“Yang aku yakin lebih kotor dari sofa itu.”

“Tidak ada yang pernah tidur di kamarku selain aku sendiri, Sweety.”

“Yang benar saja,” ucapku memutar bola mataku.

“Aku sangat serius. Aku meniduri mereka di sofa. Aku tak memerbolehkan mereka masuk ke kamarku.”

“Lalu kenapa aku diperbolehkan masuk?” tanyaku. Sudut bibirnya membentuk seringai nakal.

“Apakah kau berencana untuk tidur denganku malam ini?”

Fuck you, Minho!” balasku marah padanya.

“Nah karena itulah. Ayo sekarang berdiri lalu mandi dan kita bisa belajar biologi,” aku melotot padanya. Namun sesaat kemudian mengikuti perintahnya sambil menggerutu.

•••

Aku berdiri di bawah pancuran cukup lama. Membiarkan air menghilangkan rasa marahku. Memijat kepalaku sambil keramas, aku merindukan nikmatnya mandi bukan di kamar mandi umum; tidak harus memakai sandal, tidak ada tas peralatan mandi, hanya campuran yang menenangkan antara air dan uap. Pintu tiba-tiba terbuka membuatku terkejut.

“Kibum?”

“Bukan. Ini aku,” jawab Minho. Otomatis aku menutupi bagian tubuhku yang tak ingin dilihat Minho dengan tanganku. Sebenarnya aku sudah menutup tirai mandinya tadi. Tapi tetap saja untuk berjaga-jaga.

“Apa yang kau lakukan di dalam sini? Cepat keluar!”

“Kau lupa membawa handukmu dan aku membawakan pakaian, sikat gigi dan krim muka aneh ini yang aku temukan di dalam tasmu.”

“Kau membuka tasku?” teriakku. Ia bahkan tidak menjawab. Sebaliknya, justru terdengar suara kran dibuka dan suara Minho yang sedang menggosok gigi. Aku mengintip dari balik tirai mandi, menahannya menutupi bagian bawah tubuhku.

“Keluar, Minho,”

“Aku tidak bisa tidur tanpa gosok gigi,”jawabnya sambil melihatku yang mengintip dari cermin di depannya.

“Jika kau mendekat jarak satu meter dari tirai ini, aku bersumpah akan menusuk matamu saat kau tidur.”

“Aku tidak akan mengintip, Sweety. Kau seperti perawan saja,” ia tertawa.

Aku menunggu di bawah pancuran sambil melipat tanganku di atas dada. Ia meludah dan meludah lagi lalu pintu tertutup. Aku membersihkan sabun dari tubuhku, mengeringkannya secepat mungkin, memakai kaos dan celana pendek yang nyaman untuk tidur. Pelembab malam yang Minho bawakan mengalihkan perhatianku dan aku tidak dapat menahan senyum. Ia sangat perhatian dan hampir baik kalau ia menginginkannya. Minho membuka pintu kamar mandi untuk kedua kalinya. Dan aku terkaget untuk yang kedua kalinya pula.

“Ayo cepat, Taemin. Aku sudah menunggumu terlalu lama.”

Aku membalikkan badan melihat ke arahnya dan memutar bola mataku malas. Ia menutup pintu dan terdengar tawanya sepanjang jalan menuju kamarnya. Aku menyelesaikan gosok gigiku lalu berjalan menuju lorong melewati kamar Jinki.

“Selamat tidur, Taemini,” kata Kibum dari kegelapan.

“Hm. Selamat tidur, Kibum-ah,” jawabku sambil berjalan menuju kamar Minho. Aku sempat ragu sebelum mengetuk dua kali pintu kamarnya.

“Masuk saja, Sweety. Kau tak perlu mengetuk.”

Aku membuka pintu dan melangkah masuk, melihat besi hitam tempat tidurnya yang di tempatkan sejajar dengan jendela di seberang ruangan. Dindingnya polos kecuali satu lukisan abstrak berukuran besar di atas kepala tempat tidur. Aku mengira kamarnya akan dipenuhi poster manusia telanjang, tetapi bahkan aku tidak melihat poster iklan bir di sana. Semua yang ada di kamar Minho berwarna putih, kecuali tempat tidur hitam dan karpet abu-abu.

“Piyama yang bagus,” katanya memerhatikan calana pendekku yang berwarna kuning kotak-kotak biru dan kaos putih polos. Ia duduk di atas tempat tidurnya lalu menepuk-nepuk bantal di sampingnya. “Ayo naik. Tenang saja, aku tidak akan menggigit.”

“Aku tidak takut padamu,” ujarku berjalan menuju tempat tidur dan menjatuhkan buku biologiku di sampingnya. “Apakah kau punya bolpoin?” ia menjawab menggunakan kepalanya untuk menunjuk ke meja.

“Laci paling atas.”

Aku melangkah ke seberang tempat tidur dan menarik laci hingga terbuka. Aku menemukan tiga bolpoin, pensil, satu tube kecil isi bolpoin, dan mangkuk kaca penuh dengan kondom dari berbagai merek. Dengan rasa jijik, aku mengambil bolpoinnya dan menutup laci dengan cepat.

“Ada apa?” tanyanya sambil membuka-buka halaman bukuku.

“Apa kau habis merampok di apotek?”

“Tidak. Kenapa?” aku membuka tutup bolpoin, tak mampu menyembunyikan rasa muak dari wajahku.

“Kondom untuk persediaan seumur hidupmu.”

“Lebih baik aman daripada menyesal. Benar, kan?”

Aku memutar mataku. Minho kembali melihat halaman bukuku, senyum nakal muncul di bibirnya. Ia membacakan catatannya padaku, menandai poin yang penting sambil ia mengajukan beberapa pertanyaan. Dengan sabar ia menjelaskan apa yang tidak aku mengerti.

Setelah satu jam berlalu, aku menguap dan menggosok mataku.

“Aku lelah. Tidak dapat mengingat satu lagi mikromolekul.”

“Baiklah,” jawabnya sambil tersenyum dan menutup buku.

Aku terdiam. Tidak yakin bagaimana pengaturan tempat tidur kami. Minho meninggalkan kamar, menggumamkan sesuatu di kamar Jinki sebelum menyalakan pancuran dan mandi. Aku membalikkan selimut dan menariknya hingga ke atas leherku sambil mendengarkan suara air mengalir di dalam pipa.

Sepuluh menit kemudian, air dimatikan dan lantai berderak ketika Minho melangkah. Ia berjalan masuk kamar dengan hanya menggunakan handuk yang dililitkan di pinggulnya. Aku dengan sengaja membelakangi Minho saat ia berdiri di depan lemari pakaiannya dan menjatuhkan handuknya untuk memakai celana boxer. Setelah mematikan lampu, ia merangkak ke atas tempat tidur.

“Kau—tidur di sini juga?” tanyaku sambil berbalik dan menatapnya. Bulan purnama di luar jendela membuat bayangan di wajahnya semakin memesona.

“Tentu saja. Inikan tempat tidurku.”

“Aku tahu, tapi aku—“ aku tidak melanjutkannya. Pilihanku satu-satunya hanya sofa atau kursi malas. Minho tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

“Bukankah seharusnya kau sudah percaya padaku? Aku akan menjaga sikapku, aku janji,” katanya sambil mengangkat dua jarinya. Aku tidak membantah, hanya berbalik dan berbaring di atas bantal dan menyelipkan selimut di belakangku agar ada batas jelas diantara kami.

“Selamati tidur, Sweety,” bisiknya di telingaku. Aku dapat mencium aroma napas mintnya di pipiku, membuat bulu di seluruh tubuhku berdiri. Bersyukur saat itu cukup gelap sehingga ia tak dapat melihat reaksiku yang memalukan ataupun rona merah di pipiku.

•••

Sepertinya aku baru saja tertidur saat alarm berbunyi. Aku meraih untuk mematikannya tapi langsung menarik tanganku kembali dengan cepat ketika merasakan kulit yang hangat di bawah jariku. Aku mencoba mengingat di mana aku berada. Ketika aku mengingatnya, membuatku merasa malu kalau sampai Minho berpikir aku melakukan itu dengan sengaja.

“Minho, alarmmu,” bisikku. Ia tetap tak bergerak. “Minho!” panggilku lagi sambil menyikutnya. Ketika ia tetap tidak bergerak, aku meraih jam itu melewati tubuh Minho, meraba-raba di kegelapan hingga aku merasakan bagian atas jamnya. Tak yakin bagaimana mematikannya, aku memukul-mukul bagian atasnya hingga tombol snooze tertekan dan menjatuhkan diri lagi ke atas bantal dengan gusar. Minho tertawa.

“Kau sudah bangun?”

“Aku sudah berjanji akan menjaga sikapku. Tapi aku tidak bilang apa-apa tentang membiarkanmu berbaring di atasku.”

“Aku tidak berbaring di atasmu!” protesku. “Aku tidak bisa meraih jam itu. Itu adalah alarm yang paling mengganggu yang pernah aku dengar. Suaranya seperti binatang yang sedang sekarat,” Minho meraih jam itu dan mematikan alarmnya.

“Kau mau sarapan?” aku membelalakan mata ke arahnya kemudian menggeleng kepalaku.

“Aku tidak lapar.”

Well, aku lapar. Kenapa kita tidak pergi untuk mencari sarapan?”

“Kupikir aku tidak bisa menerima kurangnya keterampilan menyetirmu sepagi ini,” jawabku. Aku mengayunkan kakiku keluar dari tempat tidur dan memakai sandalku lalu berjalan menuju pintu.

“Mau kemana?” tanyanya.

“Bersiap-siap ke kampus. Apakah kau membutuhkan rincian kegiatanku selama aku di sini?” Minho menggeliat, berjalan ke arahku, masih memakai celana boxernya.

“Apa kau selalu temperamen seperti ini atau akan mereda setelah kau percaya aku tidak sedang membuat strategi rumit agar bisa tidur denganmu?” tangannya memegang bahuku dan aku merasakan ibu jarinya menyentuh kulitku.

“Aku tidak temperamental.”

“Aku tidak akan tidur denganmu, Sweety. Aku terlalu menyukaimu,” ia membungkuk dan berbisik di telingaku. Kemudian berjalan melewatiku menuju kamar mandi dan aku terdiam, terpana. Ucapan orang-orang berputar ulang di pikiranku. Choi Minho tidur dengan semua orang; aku tak bisa mencegah merasa rendah diri dalam beberapa hal sampai-sampai ia tak punya keinginan untuk tidur denganku. Pintu kamar Jinki terbuka dan ada Kibum disana.

“Oh—apakah ada seseorang yang kurang tidur semalam?” katanya.

“Dia bahkan tak bernapas ke arahku,” jawabku asal. Senyum penuh arti muncul di wajahnya.

“Oh.”

“Oh apa?”

“Tidak apa-apa,” jawabnya, kembali masuk ke kamar Jinki. Minho sedang di dapur, menyenandungkan lagu asal-asalan sambil membuat telur urak-arik.

“Kau yakin tidak mau?” tanyanya.

“Aku yakin. Terima kasih.”

Jinki dan Kibum keluar dari kamar Jinki, kemudian Minho mengeluarkan dua piring dari lemari, memegangnya ketika Minho menyendokkan setumpuk telur panas ke atas piring. Jinki meletakkan piring di atas meja dapur lalu ia dan Kibum duduk berdua, memuaskan nafsu lapar mereka setelah beraktivitas tadi malam.

“Jangan melihatku seperti itu, Jinki-ya. Maafkan aku, aku hanya tak ingin pergi,” kata Kibum.

“Sayang, The House mengadakan pesta kencan dua kali dalam setahun,” Jinki berbicara sambil mengunyah sarapannya. “Acaranya bulan depan. Kau masih punya banyak waktu untuk mencari pakaian dan melakukan hal lainnya yang kau butuhkan.”

“Ya, aku tahu itu. Tapi aku tidak mengenal siapapun disana.”

“Ya Tuhan, disana akan banyak orang yang datang tanpa mengenal siapapun,” kata Jinki terkejut dengan penolakan Kibum. “Ayolah, Sayang. Jangan biarkan aku pergi sendirian.”

Well, mungkin kau bisa menemukan seseorang untuk mengajak Taemin?” kata Kibum sambil melihat ke arahku lalu ke arah Minho. Minho menaikkan satu alisnya dan Jinki menggelengkan kepalanya.

“Minho tak pernah datang ke acara seperti itu. Itu yang harus kau hadiri bersama pacarmu dan Minho tidak—kau tahu sendiri.”

“Kita bisa mengenalkannya pada seseorang,” Kibum menjawab sambil mengangkat bahunya.

“Aku bisa mendengarmu, kau tahu,” kataku memincingkan mata ke arah mereka.

“Tolonglah, Taemin-ah. Kita akan mencarikanmu seorang pasangan yang baik, lucu, pintar, dan aku akan memastikan dia tampan. Aku bersumpah kau akan bersenang-senang. Dan siapa tahu kau akan cocok dengannya,” Kibum memberiku pandangan yang tidak mungkin aku tolak. Minho meletakkan piring kotornya di tempat cuci piring. “Aku tidak bilang kalau aku tidak mengajak dia,” aku memutar mataku.

“Tidak perlu membantuku, Minho.”

“Bukan itu maksudku, Sweety. Pesta kencan adalah pesta yang didatangi orang dengan kekasihnya dan seperti yang sudah kalian tahu, aku tidak pernah berpacaran. Tapi aku tak ingin khawatir kau akan mengharapkan cincin tunangan setelah itu.”

“Aku mohon, Taemin,” kata Kibum mengerucutkan bibir.

“Jangan melihatku seperti itu!” keluhku. “Minho tak ingin pergi, aku juga tak ingin. Kita tidak akan bersenang-senang,” Minho melipat tangannya dan bersandar di tempat cuci piring.

“Aku tidak bilang kalau aku tak ingin pergi. Kurasa akan menyenangkan bila kita berempat bisa pergi,” ia mengangkat bahunya. Semua mata menatapku.

“Kenapa kita tidak hangout di sini saja?” kataku. Kibum cemberut dan Jinki bersandar ke depan.

“Karena aku harus datang, Taemin. Aku anggota baru; aku harus memastikan semua berjalan lancar, memastikan semua orang memegang bir di tangannya, hal-hal semacam itu,” ujar Jinki menjelaskan. Minho berjalan ke luar dapur dan meletakkan tangannya di bahuku, menarikku ke arahnya.

“Ayolah, Sweety. Maukah kau pergi denganku?” ajak Minho. Aku memandang Kibum lalu Jinki dan akhirnya ke arah Minho lagi.

“Baiklah,” finalku sambil menghela napas. Kibum berteriak lalu memelukku dan aku merasakan tangan Jinki di punggungku.

“Terima kasih, Taemin-ah.”

•to be continued•

16 thoughts on “The Bet : Love Begin #2

  1. choi jenong 2017-03-14 / 10:18 pm

    sebener.ny minho itu baik, pinter, perhatian, sopan (menurt jinki) cm klo ud ngomongin isi celana dalam wanita,, dia jd super brengsek…
    minho gak salah 100% sih,, emg tuh cewe aj yg dasar.ny murahan,, mau2.ny aj tidur sm cowo yg baru di kenal…

    jgn.kan taemin,, saya aj ilfeel sm sikap.ny minho yg ky gitu…
    cb minho cm playboy biasa bkn playboy plus plus 😧😧😧😧
    Minho…minho 😧😧😧

    Like

    • nad (bluesch) 2017-03-14 / 11:03 pm

      Biar tambah awesome dibikin plus-plus macam pijat. Bersyukurlah Minho ga buka panti pijat plus-plus. Bisajadi bukan ilfeel, tapi sudah dihempaskan saja lol. Terima kasih sudah berkunjung 😉

      Like

  2. SikhoSoo 2017-02-22 / 12:27 am

    Wah… Ini kedua musuh besar 2min ada disini semua kai sama jungmo, ming santai banget yah padahal udah ketauan taemin kalaok ming itu bajingan hrum… Jadi semangat buat lanjut bacanya, semangat yah thor buat nulisnya

    Like

    • nad (bluesch) 2017-02-22 / 12:55 pm

      Kalau saling suka kan emang harusnya begitu, terbuka. Doi udah tahu kejelekan kita yaudah gamasalah haha. Apa deh.

      Terima kasih sudah berkunjung 😉

      Like

  3. fairytaeminho 2017-02-12 / 11:43 am

    well, jungmo datang. artinya saingannya minho kn?
    kehidupan minho terlalu bebas, juga terlalu sopan pada taemin. ok.. kepribadian yg vertolak belakang. dia gk mau tidur sama taemin.
    tpi klo menurutku sih dari sikap taemin yg protes terhadap kehidupan minho itu semacem marah, sedikit cemburu tpi juga cuek. gk mungkin kan taemin ngebela cewek yg ditiduri minho karena di tolak mentah” sama minho.
    lanjut.. ^_^

    Like

    • nad (bluesch) 2017-02-12 / 12:46 pm

      Well, soal Jungmo. Ditunggu aja gmn ceritanya nanti ya ^^

      Terima kasih sudah berkunjung 😉

      Like

  4. Ria 2017-02-10 / 2:51 pm

    Yeah…akhirnya dipost juga….
    Hmm Minho tidak akan macam2 sama Taemin karna dia memang mencintai Taemin dan tak ingin Taemin hancur karnanya.Sikap yg sangat gentle menurutku.Dan akhirnya mereka berempat akan pergi ke pesta sebagai pasangan kekasih,wew…
    Dan aku suka ada Jungmo dsini,mgkin bakal jadi saingannya Minho dlm mengencani Taemin.

    Like

    • nad (bluesch) 2017-02-10 / 3:48 pm

      Syukurlah ada yang ngeh sama kehadiran Jungmo hehe. Dia jadi cameo kok. Wkwkwk engga ding. Dilihat aja nanti.

      Terima kasih sudah berkunjung 😉

      Like

      • Ria 2017-02-11 / 10:08 am

        Selama ini sering bnget kok Jungmo jadi orang ketiganya 2min,hehehe…

        Liked by 1 person

  5. minnalee 2017-02-10 / 12:04 am

    agak gak suka yah ama minho dsni… dia trlalu bnyak main prempuam kyak seenak jidat.a gti tduri prempuan.. klo emang suka ama taem mau nya dia gak usah maen prempuan lg… smpe kpan hub 2min bgni.. smoga cpat brsatu deh… si taem sbenar.a udah suka gak sih ama minho tp dia nya agak jijik yah ama kelakuan minho…
    smoga minho bsa brubah deh klo emang dia bnar” cnta ma taem… next chap d tggu..

    Like

    • nad (bluesch) 2017-02-10 / 5:34 am

      Same with me. Ini salah satu pertimbanganku juga waktu mau rewrite. Hanya saja ada beberapa sifat si pemeran utama yg mirip sama minho dan taemin. Well, begitulah.

      Terima kasih sudah membaca 😉

      Like

Fill this if you wanna say something about my post.